Kisah Nabi Isa A.S dan Orang Tamak

(tulisan ini disadur ulang dari blog sebelumnya, yanuarchandraw.com. Ditulis bulan Januari 2015)


Nabi Isa Alaihis Salam adalah seorang Nabi dan Rasul yang budi pekertinya bisa dijadikan teladan bagi kehdupan kita. Seperti kita ketahui bersama, salah satu mukjizat beliau adalah mampu menghidupkan orang yang sudah meninggal. Nah, cerita dibawah ini mudah-mudahan bisa jadi pelajaran bagi kita semua.

—————————————————————————————————————-

Pada suatu hari Nabi Isa Alaihis Salam berjalan seorang diri, tiba-tiba datang seseorang mendekatinya. Orang tersebut memang sudah lama ingin sekali bersahabat dengan Nabi Isa AS. Sebut saja orang itu bernama Fulan.

“Hai Isa, sudah lama aku ingin bertemu. Kebetulan sekali kita sekarang berjumpa disini, “ sapa si Fulan.

“Ada perlu apa kau mencariku?”, tanya Nabi Isa AS.

“Aku ingin bersahabat denganmu dan ingin selalu bersamamu.”, kata si Fulan.

“Boleh,” sahut Nabi Isa singkat.

Si Fulan kemudian mengikuti Nabi Isa, berjalan di sampingnya. Tak beberapa lama kemudian keduanya sampai di ujung sebuah sungai. Karena orang itu dianggapnya sebagai sahabat, Nabi Isa mengajaknya makan bersama. Tapi ternyata roti yang dimiliki Nabi Isa tinggal sepotong. Maka, roti itu kemudian dibelah menjadi tiga bagian. Satu bagian untuk Nabi Isa, satu bagian untuk si Fulan, maka sisanya tinggal satu bagian.

“Makanlah, aku hendak mencari air untuk diminum”, kata Nabi Isa seraya beranjak pergi.

“Ya, ya silahkan kau cari air bersih. Nanti aku akan ikut minum”, kata si Fulan.

Setelah mendapatkan air, Nabi Isa kembali menjumpai sahabatnya itu. Betapa heran Nabi Isa ketika melihat sisa roti yang tinggal sepotong itu telah lenyap. “Kemana roti sisa yang tinggal sebagian tadi?”, tanya Nabi Isa.

“Entahlah, saya tidak tahu”, jawab si Fulan acuh tak acuh.

Kemudian dia dengan tergesa-gesa minta air bersih yang dibawa Nabi Isa untuk diminum. Nabi Isa diam, tanpa mengusut lebih jauh tentang roti yang hilang. Kemudian ia mengajak si Fulan meneruskan perjalanan. Mereka berjalan memasuki hutan tanpa tujuan, sampai keduanya keletihan. Nabi Isa melihat si Fulan nampak kelelahan dan lemas, agaknya orang ini sudah sangat lapar. Di kejauhan, nampak beberapa ekor rusa sedang berkejar-kejaran.

“Hai Rusa! Kemarilah!”, tiba-tiba Nabi Isa berteriak ke arah sekawanan rusa.

Si Fulan tersenyum sinis. Mana mungkin rusa mau dipanggil manusia yang tujuannya sudah jelas yaitu untuk disembelih dan dimakan dagingnya. Tetapi sesaat kemudian mata si Fulan terbelalak. Sungguh aneh, dari sekawanan rusa itu ada yang seekor rusa jantan yang masih muda datang mendekat, menuruti panggilan Nabi Isa AS. Binatang itu kemudian disembelih dan dibakar oleh Nabi Isa. Orang yang dianggap sahabatnya itu diajak pula makan bersama.

Si Fulan makan dengan sekenyang-kenyangnya. Belum lagi daging yang dikunyah tertelan, tangannya sudah mengambil daging rusa dengan tergesa-gesa, seakan takut jika daging itu hendak dihabiskan Nabi Isa. Padahal Nabi Isa hanya makan sekedarnya saja. Sebelum perutnya kenyang, Nabi Isa sudah berhenti mengambil daging rusa.

Dari caranya makan, kelihatan sekali bahwa si Fulan rakus sekali. Mulut dan pipinya belepotan, tangannya kelihatan kotor. Selesai makan, dipanggilnya rusa yang disembelih tadi oleh Nabi Isa. Atas izin Allah, rusa yang tinggal kulit dan tulang berserakan itu hidup kembali.

“Astaga…! Hebat sekali kau hai Isa!”, kata si Fulan terkagum-kagum.

Rusa itu kemudian berlari menuju semak-semak. “Demi Allah yang telah memperlihatkan bukti kekuasan-Nya kepadamu. Sekali lagi aku ingin bertanya kepadamu dan jawablah dengan terus terang. Siapa yang makan sisa roti tadi?”, tanya Nabi Isa.

“Sungguh, saya tak tahu,”, jawab si Fulan yang rupanya masih tetap mempertahankan kebohongannya. Nabi Isa tidak ingin meneruskan pertanyaannya. Diajaknya lagi si Fulan kembali meneruskan perjalanan. Mereka akhirnya sampai di tepi sungai yang sangat lebar. “Kita akan menyeberangi telagai ini”, kata Nabi Isa dengan tenang.

“Tapi telaga ini sepertinya sangat dalam dan sangat lebar, sementara di sekitar tempat ini tidak ada perahu. Dengan apa kita menyeberang?”

“Tenang saja. Kita akan menyeberangi telaga ini dengan berjalan kaki”. Nabi Isa lalu menggandeng tangan orang itu. Dengan izin Allah, mereka berjalan di atas air sampai ke seberang.

Setibanya di seberang sungai, Nabi Isa kembali bertanya kepada orang yang ingin bersahabat dengannya itu.

“Demi Allah yang telah memperlihatkan lagi bukti kekuasaan-Nya kepadamu. Aku ingin bertanya sekali lagi kepadamu, siapakah yang memakan sisa roti kemarin?”

“Saya tidak tahu”, kembali si Fulan menjawan dengan jawaban yang sama. Nabi Isa mengajaknya meneruskan perjalanan. Kali ini jalan yang ditempuh cukup jauh. Hinggal sampailah mereka ditempat yang tandus dan kering. Udara siang itu terasa panas sekali. Fulan merasa kelelahan. Haus dan kelaparan. Mereka kemudian beristirahat di tempat yang teduh di bawah pohon besar yang telah mengering namun dahan batangnya yang besar masih bisa melindungi mereka dari terik matahari.

Pada saat duduk melepaskan lelah, Nabi Isa mengambil segenggam tanah, kemudian meremasnya. “Atas izin Allah, jadilah engkau sebongkah emas”, seru Nabi Isa.

Oleh nabi Isa kemudian emas itu dibagi menjadi tiga bagian yang sama. “Satu bagian untukku, dan satu bagian untukmu”, kata Nabi Isa seraya menyodorkan sebagian emas untuk si Fulan.

Masih ada satu bagian lagi yang Fulan tidak mengetahui untuk siapakah itu. Ia merasa heran dan bertanya-tanya dalam hati. Hanya ada mereka berdua, lalu bagian ketiga untuk siapa?

“Yang satu bagian lagi untuk siapa?”, tanya si Fulan tidak bisa menahan diri lagi.

“Untuk orang yang memakan sebagian sisa roti kemarin”, kata Nabi Isa.

Mendengan ucapan Nabi Isa, muncullah sifat tamak orang itu yang selama ini ditutupi dengan kebohongan. Harusnya ia malu untuk mengakui bahwa dialah yang memakan roti kemarin. Tapi nafsu serakah alias tamaknya lebih besar ketimbang rasa malunya. Maka ia berkata: “Hai Isa, sebenarnya akulah yang memakan sebagian sisa roti kemarin. Maafkan aku telah membohongi dirimu”, kata Fulan dengan tanpa malu-malu.

“Kamu memang memiliki sifat tamak, serakah dan pembohong. Ambillah semua emas ini untukmu, dan jangan kau ikuti lagi diriku, kata Nabi Isa. Nabi Isa meninggalkan orang itu yang menatapnya dengan pandangan sulit dimengerti. Memang orang yang tamak tidak akan mengerti bahwa sifatnya yang tercela itu nantinya bakal mencelakakan dirinya sendiri.

Beberapa lama setelah Nabi Isa pergi, Fulan masih berada di tempat itu. Ia berdiri termenung. Pikirannya melambung jauh ke angkasa. Dengan emas segenggam itu tentu ia akan kaya raya. Ia yang tadinya belum beristri sudah berencana langsung beristri dua, dia kan membeli barang-barang dan makanan apa saja yang disukainya.

Tapi kini ia berada di tempat yang kering dan tandus. Tanpa teman sema sekali. Ia berusaha mencari-cari di mana gerangan Nabi Isa. Tetapi manusia suci itu sudah tidak terlihat bayangannya lagi.

Ia mulai resah dan gelisah. Tak tahu harus melangkah ke arah mana sehingga ia hanya berdiam diri di tempat teduh itu sembari memasukkan emasnya ke dalam kantung kain. Kini perutnya sudah terasa melilit-lilit, tenggorokannya benar-benar terasa kering karena kehausan.

Ketika matahari sudah condong ke arah barat, samar-samar ia melihat dua sosok bayangan di kejauhan berjalan ke arahnya. Bayangan itu semakin dekat semakin jelas. Ternyata adalah dua orang pengembara yang berjalan kaki. Seorang bertubuh kurus dan tinggi, seorang lagi bertubuh gendut dan agak pendek. Keduanya membawa tongkat dan bekal perjalanan yang diletakkan di bungkusan serupa karung di punggung masing-masing.

Fulan melihat di pinggang kedua orang itu nampak kantong air yang masih mengembung, berarti kedua orang itu masih punya persediaan air minum.

“Saudara-saudara… tolong berilah saya beberapa teguk air. Saya benar-benar sangat khausan dan kelaparan.”

Tapi kedua orang yang disapanya hanya melihatnya selintas. Kedua orang itu lalu memperhatikan pohon besar yang digunakan Fulan untuk berteduh.

“Tidak salah lagi, pohon inilah tandanya.”, ujar si Kurus.

“Keluarkan petamu, biar aku bertambah yakin.”, sahut si Gemuk.

Si kurus mengeluarkan secarik peta dari kulit sapi. Kepalanya mengangguk-angguk setelah mengamati peta dan melihat pohon besar yang sudah mengering itu.

“Dari pohon itu kita melangkah dua puluh lima meter ke arah utara”, kata si Kurus.

Tanpa memperhatikan Fulan yang haus dan kelaparan, kedua orang itu melangkah sesuai petunjuk yang ada di dalam peta.

“Ya! Disinilah tempatnya”, teriak si Gemuk. “Kita bakal jadi kaya raya!”

Tiba-tiba si kurus menoleh ke arah si Fulan dan menatapnya bagai mata elang.

“Hai apa yang kamu lakukan di tempat itu?”, bentak si Kurus dengan nada tidak suka.

“Aku… aku hanya berteduh”, jawab si Fulan dengan tanda tanya.

“Cepat pergi dari tempat ini!”, sahut si Kurus.

“Memangnya kenapa? Apakah tempat ini milik kalian?”, Fulan yang merasa dipersepelekan mulai jengkel.

“Ya, tempat ini adalah milik kami berdua. Cepat pergilah dari sini!”, si Kurus makin tidak suka pada si Fulan.

“Kukira tidak seorang pun yang memiliki tempat kering dan gersang ini. Apalagi tempat ini jauh dari pemukiman penduduk!”, bantah si Fulan.

“Huh, rewel amat kau ini!”, gerutu si Kurus.

Sementara itu si Gemuk yang sudah mengeluarkan cangkul dan sekop dari pebekalannya tiba-tiba memegangi lengan si Kurus sambil berbisik.

“Saudaraku… mengapa tidak kita manfaatkan saja orang itu untuk menggali harta?”

“Ssstt….! Diam kau Gemuk! Jangan sampai ia tahu apa yang hendak kita Gali?”

Fulan makin curiga melihat gerak-gerik mereka. Sesaat kemudian ia berkata dengan lantang, “Aku yang datang lebih dulu ke tempat ini. Jadi akulah pemilik tempat ini!”

“Apa?? Beraninya kau mengaku-ngaku sebagai pemilik tempat ini. Daerah ini adalah milik kami!”, sergah si Kurus.

“Lalu apa buktinya kalian sebagai pemilik tempat ini?”

Si Kurus dan Si Gemuk tercengang mendengar pertanyaan si Fulan. Memang mereka tak bisa membuktikan diri sebagai pemilik tempat itu.

“Aku yang datang lebih dulu di tempat ini. Jadi akulah pemiliknya. Jika kalian ingin melakukan sesuatu di atas tanah ini kalian harus minta izin lebih dulu”.

“Hai jangan kurang ajar!” Kami berdua lebih kuat darimu. Kami bisa membunuhmu dengan mudah!”, sergah si Kurus.

“Hmmm, siapa takut!” balas si Fulan sambil mengeluarkan sebilah pedang dari balik bajunya.

Si Gemuk kembali berbisik kepada si Kurus. “Ssstt… kita kasih dia beberapa teguk air dan sepotong roti dengan syarat dia mau membantu menggali lubang harta karun…!”

Maka terjadilah negosiasi. Si Fulan yang rakus dan tamak ini cerdik juga.

“Kalian berdua datang dari tempat jauh. Untuk apa menggali tanah di sini? Oh… aku tau pastilah kalian mencari harta karun. Kalau begitu aku harus mendapat bagian. Harus kita bagi tiga!”

Si Kurus dan Si Gemuk saling pandang dengan wajah mengkerut.

“Bagaimana? Jangan diam saja! Ingat, aku pemilik tempat ini, karena aku datang yang lebih dulu!”

Kembali si Gemuk berbisik pelan, “Kita turuti kemauannya, nanti kalau sudah selesai kita habisi secara diam-diam…”

Si Kurus mengangguk.

“Baiklah, kau akan mendapat sepertiga bagian. Tapi kau harus menggali lebih dulu!, ujar si Gemuk.

“Setuju!”, sahut si Fulan.

Maka terjadilah kesepakatan itu. Fulan diberi makan roti dan air minum. Kemudian gilirannya dia menggali lubang harta karun di bagian permukaan tanah.

Setelah kelihatan kelelahan, barulah si Gemuk yang meneruskan galian. Penggalian dilakukan dalam waktu cukup lama karena tanahnya tandus dan keras. Bekal makan dan minum mereka sudah habis karena meraka sangat lapar. Lubang sudah cukup dalam tetapi pada giliran si Kurus mereka menemukan sebuah peti kayu berwarna hitam. Peti itu sangat berat. Bertiga mereka angkat peti kayu itu ke atas.

Peti kuni berwarna hitam itu tertutup rapat tanpa ada kuncinya. Mereka membuka paksa tutupnya. Begitu peti terbuka sepasang mata mereka terbelalak kaget. Peti itu berisi emas, permata, berlian dan uang logam. Si Gemuk segera menyiapkan karung. Kini, masing-masing orang mendapat sepertiga bagian dalam karung masing-masing. Masng-masing sudah memanggul karung berisi harta karun. Ternyata karung itu sangat berat, mereka bingung untuk membawanya.

“Kita harus bisa mendapatkan tiga ekor kuda untuk membawa harta ini.”, kata si Kurus.

“Jadi salah seorang dari kita harus pergi ke kota untuk membeli kuda dan makanan.” Sahut si Fulan.

“Ya bekal makanan dan minuman kita sudah habis. Lalu siapa yang akan berangkat ke kota?” tanya si Gemuk.

“Jangan kuatir aku yang akan ke kota untuk membeli kuda, makanan dan minuman, kalian berdua yang menjaga tiga karung harta karun ini”, kata si Fulan.

“Oh.. betapa mulianya hatimu kawan…!”, ujar si Kurus.

“Tidak! Sebelum aku pergi kita harus mengangkat sumpah setia bahwa diantara  kita tidak boleh ada yang berkhianat!”

“Setujuuuuu…!” sahut si Gemuk dan si Kurus hampir bersamaan. Mereka mengangkat tangan dan bersumpah. Sesaat kemudian dengan membawa beberapa keping emas, si Fulan berangkat ke kota. Sementara si Gemuk dan si Kurus menunggui tiga karung harta karun. Setelah cukup lama, tiba-tiba muncul niat jahat di hati si Kurus.

“Mengapa harus dibagi tiga. Jika aku sendiri yang menguasainya maka aku akan menjadi seorang hartawan kaya raya yang tiada tandingnya, aku bahkan bisa menjadi seorang raja.”

Maka si Kurus mencari-cari kesempatan. Ia berpamit hendak buang air besar. Si Gemuk hanya mengangguk, kalau kelelahan si Gemuk gampang tertidur. Maka ketika si Kurus pergi, tak berapa lama kemudian si Gemuk sudah tertidur pulas.

Sungguh tak disangka, ternyata si Kurus tidak pergi jauh. Ia bahkan dengan seksama memperhatikan gerak-gerik si Gemuk. Begitu mengetahui si Gemuk tertidur pulas maka si Kurus menikam jantungnya dengan belati. Si Gemuk seketika tewas terkapar. Mayat si Gemuk ditutupi kain sehingga seolah-olah ia sedang tertidur. Kemudian si Kurus kembali menyelinap di bebatuan. Tatkala si Fulan datang dengan membawa makanan dan tiga ekor kuda, si Kurus langsung menikam perutnya hingga usus si Fulan terburai.

“Kau… kau pengkhianat!” jerit si Fulan.

“Ya, akulah yang sekarang menguasai semua harta karun ini!”, sahut si Kurus dengan tertawa penuh kemenangan.

Setelah si Fulan yang rakus itu roboh ke tanah dengan meregang jiwa, si Kurus kini menyantap nasi bungkus yang dibawakan si Fulan dari luar kota.

Ia menyantap nasi dan lauknya dengan lahap. Namun belum ada separo, tiba-tiba perutnya terasa mulas, perih melilit-lilit. Tidak berapa lama kemudian mulutnya mengeluarkan busa, nafasnya tersengal-sengal.

“Kurang ajra kau Fulan… ternyata kau meracuniku…!”, habis berkata demikian si Kurus tewas roboh ke tanah.

Itulah nasih orang-orang rakus, tamak dan pembohong. Orang tamak walau sudah punya harta yang melimpah masih saja ingin lebih banyak lagi. Sifat tamak mereka akhirnya menjadi bumerang yang mencelakakan diri sendiri.

—————————————————————————————————————-

Terlepas dari benar atau tidaknya cerita diatas, saya juga tidak ingin mempermasalahkan itu. Tetapi yang ingin saya sampaikan ke rekan-rekan semua yaitu: tidak pernah ada berkah dari sifat tamak dan serakah. Pasti ada cara bagi Allah untuk mengambil kembali hartanya, bisa secara langsung maupun tidak langsung. Dengan cara langsung, misal rumahnya kebakaran atau sakit yang berkepanjangan hingga menguras hartanya. Dengan cara tidak langsung, misal keluarganya berantakan, anaknya menjadi durhaka dan membuat malu kelurga, dan lain sebagainya. Sifat ini pula yang memicu orang untuk korupsi.

Seluruh harta berapapun banyaknya tidak akan dibawa mati. Jadi, untuk apa ditumpuk-tumpuk. Bisa hidup berkecukupan rasanya sudah cukup. Mudah-mudahan, hidup kita berkah dan jauh dari sifat tamak. Aamiin…

Sumber: Rahimsyah AR. 2010. Kisah Teladan 25 Nabi dan Rasul. Surabaya: Bintang Usaha Jaya

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

MUCHAMAD MUCHLAS

- A father, dreamer and learner -

Life as I Frame it

My life, in pictures

Blog Agus Mulyadi

- A father, dreamer and learner -

Syari Wulan

- A father, dreamer and learner -

Dewi Nur Aisyah

Sejernih cita, Sebening asa, Merajut cerita

Design a site like this with WordPress.com
Get started